Sunday, December 6, 2009

Fenomena Café vs Warung Bakmi

Kota Bandung, orang mengenalnya sebagai kota dengan seribu factory outlet dan seribu tempat makan karena begitu banyaknya tempat makan dan outlet pakaian di kota ini. Entah darimana asal muasalnya, kota Bandung ini menjadi kota mode dan kota dimana kreativitas dan inovasi menjadi bisnis yang menarik dan potensial. Salah satu contohnya bagaimana Cihampelas menjadi landscape bisnis toko pakaian yang menyuguhkan kreativitas terutama dalam menampilkan tampak muka toko dengan berbagai ornamen seperti tokoh-tokoh komik dsb.

Kemudian hal yang menarik lainnya, berjamurnya tempat-tempat makan mulai dari yang tradisional sampai yang modern seperti café. Disinilah ajang kejelian para pebisnis dalam menentukan produk, segmen yang disasar, cara penyajian dan kreativitas dalam melakukan pemasaran. Rumah makan atau Resto tradisional seperti Rumah Makan Sunda, Rumah Makan Padang, Ayam Goreng Taliwang, Gudeg Yogya, Bakmi Yogya dsb masih terlihat minim dalam kreativitas atau inovasi. Mereka cenderung menitik beratkan kepada produk dan tempat yang nyaman. Memang hal ini tidak terlepas dari segmen pasar yang mereka bidik yaitu kalangan keluarga yang mapan yang cenderung tidak terlalu tertarik kepada hal-hal lain kecuali makan dan kebersamaan itu sendiri.

Berbeda halnya dengan Café. Ada sesuatu yang lain yang ditawarkan daripada sekedar makan dan tempat kumpul. Kreatifitas yang mudah dilakukan adalah bagaimana membuat brand yaitu nama café yang seunik mungkin sehingga akan lebih mudah dikenal oleh konsumen. Tengoklah café-café di kota Bandung, dengan namanya saja membuat konsumen penasaran. Belum lagi ditambah tempat, cara penyajian makanan dan performance para pelayannya. Tentu saja hal ini tidak cukup, kelengkapan café modern juga harus ada seperti fasilitas Hotspot untuk internet.

Dari dua macam rumah makan tersebut yaitu tradisional dan modern itu, manakah yang lebih menjanjikan?? Coba tengok ke jalan Bengawan disana dengan mudah ditemui berbagai resto tradisional dan modern. Ada bakmi Yogya yang setiap harinya dipadati pengunjung dan harus antri. Di seberangnya terdapat Café Modern dengan fasilitas hot spot gratis yang juga menyediakan makanan ringan dan berat yang ternyata sangat sepi pengunjung. Padahal kualitas dari tempat, pelayanan, kenyamanan dan hiburan, café lebih unggul. Dan saya pun mencoba produk cafe tersebut, ternyata mempunyai produk yang tidak kalah istimewanya dengan bakmi Yogya. Jadi apanya yang salah…? Dari fenomena inilah, saya kira bisnis makanan, tidak sekedar bisnis biasa dimana dapat dijalankan hanya dengan konsep marketing 4 P atau 7 P saja tetapi harus lebih kreatif lagi terutama dalam membaca selera konsumen.

No comments: